• tangal

    November 2009
    S S R K J S M
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    30  
  • PC

  • blogroll

  • iiiii

Mengelola Hutan secara Benar

Mengelola Hutan secara Benar

SETIDAKNYA ada tiga masalah yang masih dihadapi kehutanan Indonesia saat ini.
Tiga masalah itu adalah laju kerusakan hutan yang sangat tinggi, kemiskinan
masyarakat lokal (masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan), dan
konversi kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan. Masalah satu dengan yang lain
saling berkaitan sebab akar dari semua masalah itu adalah sama.

Laju kerusakan hutan yang amat tinggi diakibatkan kekeliruan prinsip pengelolaan
hutan yang dipraktikkan selama puluhan tahun di masa lalu, serta aktivitas
illegal logging (pembalakan liar) tetap terjadi hingga kini. Di masa lalu,
paradigma maximizing profit menyebabkan eksploitasi hutan dengan tidak
mengindahkan asas-asas kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan. Paradigma ini
memperlakukan hutan semata-mata sebagai komoditas yang perlu dimaksimalkan nilai
ekonominya. Kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan diletakkan berlawanan
dengan kepentingan ekonomi. Karena itu, keharusan untuk melaksanakan reboisasi,
misalnya, dipandang sebagai kegiatan yang akan mengurangi laba karena
membutuhkan pengeluaran biaya.

Proses perusakan hutan selanjutnya terjadi secara sistematis. Tidak ada hambatan
berarti yang dapat mencegah proses perusakan itu. Bahkan kearifan tradisional
yang sesungguhnya merupakan senjata ampuh untuk mencegah dan mengatasi perusakan
hutan tidak berdaya. Kearifan tradisional yang memandang hutan sebagai entitas
kehidupan yang eksistensinya harus dihargai, suatu entitas yang bisa hidup
berdampingan, saling melengkapi, dan bersimbiosis secara mutualistis dengan
manusia, perlahan tapi pasti dilemahkan oleh logika industri.

Pelemahan kearifan tradisional terjadi sejalan dengan terpinggirkannya
masyarakat lokal dari rumah mereka. Hutan dikelola oleh outsiders: mereka yang
datang ke hutan hanya untuk satu tujuan, yaitu mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Marginalisasi itu
selanjutnya membawa efek sosial-ekonomi yang cukup tragis, khususnya masyarakat
lokal. Masyarakat lokal harus menanggung derita yang tidak terselesaikan oleh
waktu, derita kemiskinan.

Peringatan betapa miskinnya masyarakat lokal pernah dikemukakan Profesor Nancy
Peluso, sosiolog termasyhur dari Universitas California-Berkeley, Amerika
Serikat. Pada 1992 Peluso menulis buku Rich Forest, Poor People yang berisi
serangkaian paradoks pembangunan kehutanan di negara berkembang, termasuk di
Indonesia. Dari pengkajiannya yang intensif atas model pembangunan kehutanan di
negara berkembang, Peluso menyimpulkan manfaat ekonomi dan ekologi hutan yang
demikian besar telah menguntungkan segelintir elite politik dan ekonomi, bahkan
berkontribusi pada devisa dan neraca pembayaran negara. Akan tetapi, manfaat
besar seperti itu sama sekali tidak mampu dinikmati lapisan masyarakat lokal.

Meskipun ditulis hampir 14 tahun lalu, pemikiran itu masih tetap relevan dengan
situasi kehutanan Indonesia masa kini. Masyarakat lokal tetap terjebak
kemiskinan dan kemelaratan serta buruknya kualitas pendidikan dan pelayanan
kesehatan, yang membuat mereka menjadi terasing di lingkungan sendiri.

Dalam kondisi tertekan secara ekonomi dan sosial, masyarakat lokal hampir tak
kuasa menolak iktikad busuk kaum pemburu rente yang ingin melibatkan diri mereka
dalam tindak kriminal di hutan. Merajalelalah pembalakan liar. Penanggulangan
yang seolah hanya mengedepankan penegakan hukum dan keamanan terbukti tidak
cukup manjur mengatasi penebangan ilegal ini. Faktanya, pembalakan liar terus
saja terjadi dalam skala masif dan diikuti degradasi kualitas hutan dalam ukuran
yang tidak kalah gawatnya.

Upaya memperbaiki hutan yang telah rusak itu tentu saja telah mendapat
prioritas. Kawasan yang mengalami deforestasi memang harus dihutankan kembali.
Tidak ada alasan untuk menunda perbaikan kawasan hutan sebab penundaan berarti
mengundang bencana alam. Jika bencana terjadi, yang sudah pasti menanggung
akibatnya pertama kali adalah masyarakat lokal.

Namun, upaya pengembalian kondisi hutan kepada keadaan idealnya terbentur
kenyataan di lapangan. Daripada dihutankan kembali, tidak lebih baikkah jika
kawasan hutan itu dimanfaatkan untuk mendapat hasil yang lebih bernilai ekonomi,
misalnya dijadikan area perkebunan. Pemanfaatan kawasan hutan untuk bisnis
semacam itu bisa menciptakan banyak lapangan kerja dalam waktu singkat. Artinya,
masyarakat lokal akan lebih terbantu dengan model pemanfaatan seperti itu bila
dibandingkan dengan sekadar kegiatan rehabilitasi.

Fakta bahwa masyarakat memiliki kepentingan ekonomi jangka pendek yang tidak
bisa ditunda pemenuhannya dan fakta bahwa kita semua membutuhkan hutan untuk
keselamatan hidup seakan-akan menjadi dua hal yang bertentangan. Di sini kita
kembali dihadapkan kepada persoalan pelik. Namun, dengan pemikiran yang jujur
dan penuh perhitungan, semua persoalan tersebut pasti ditemukan jalan keluarnya.

Beberapa pemikiran berikut diungkapkan sebagai alternatif pembangunan kehutanan
Indonesia di masa depan. Pemikiran ini didasari tiga hal. Pertama, hutan harus
lestari. Kedua, manfaat ekonomi hutan harus terdistribusi secara adil dan
masyarakat lokal mendapat prioritas dari manfaat tersebut. Dan terakhir, semua
komponen bangsa harus memiliki rasa tanggung jawab atas hutan.

Pada tataran praktisnya, kita harus memiliki berbagai kebijakan pelestarian
hutan. Beruntung sekali kebijakan semacam itu tersedia cukup memadai, tinggal
dilengkapi dan disempurnakan. Namun, kepatuhan untuk melaksanakan kebijakan
tersebut masih jauh dari harapan, terutama ketika berhadapan dengan kepentingan
yang bersifat ekonomis. Tetapi, sesungguhnya tidak perlu ada pertentangan jika
ada kebijakan yang memungkinkan terpenuhinya kepentingan pelestarian hutan
dengan kepentingan ekonomi itu secara bersamaan.

Perlu ada pembaruan kebijakan yang dapat menjamin hak pengelolaan hutan hanya di
tangan mereka yang memiliki komitmen menjaga kelestarian hutan, ketika mereka
mengambil manfaat ekonomisnya. Jika dikaji secara objektif, komitmen ini telah
tertanam kuat pada masyarakat lokal. Karena itu, hak untuk mengelola manfaat
ekonomi hutan sebaiknya di tangan masyarakat lokal, atau setidaknya masyarakat
lokal selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan.

Masyarakat lokal yang dilibatkan bukanlah segelintir atau sekelompok orang,
tetapi masyarakat lokal secara umum. Namun, masyarakat lokal itu harus bersatu,
tidak mengelola hutan secara sendiri-sendiri. Sebab faktanya sebagian besar
masyarakat lokal tidak memiliki posisi ekonomi-sosial yang baik sehingga
kebersamaan dan kerja sama adalah sikap paling realistis ketika mereka hendak
meningkatkan derajat kehidupannya. Wujud dari kebersamaan dan kerja sama itu
harus terlembagakan dalam wadah yang paling sesuai.

Pasal 30 UU No 41 Tahun 1999 menyatakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat,
setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik
swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan serta
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama
dengan koperasi masyarakat setempat. Pemilihan kata koperasi dalam pasal ini
sesungguhnya dimaksudkan untuk mempertegas betapa pentingnya masyarakat lokal
terlembagakan dalam suatu wadah. Wadah itu harus mampu mengakomodasi kepentingan
ekonomi anggotanya secara adil dan pada saat bersamaan juga dapat menyerap dan
menjadi saluran aktualisasi nilai-nilai kearifan tradisional.

Langkah selanjutnya adalah memperkuat kelembagaan masyarakat lokal itu melalui
peningkatan kualitas sumber daya manusia para anggotanya. Tidak kalah penting
pula, kelembagaan masyarakat lokal dapat semakin kukuh jika ditopang akses yang
lebih baik terhadap kapital. Karena itu, usaha-usaha untuk membuka saluran lebih
luas kepada kapital harus lebih didorong, misalnya credit reform. Kapital yang
lebih besar akan memungkinkan mereka menciptakan kegiatan ekonomi yang
terintegrasi secara vertikal. Integrasi vertikal itu membuat mereka memiliki
kapasitas mengendalikan kegiatan ekonomi berbasis hutan mulai dari hulu sampai
hilir.

Dalam keadaan demikian, kesejahteraan menjadi konsekuensi logis yang akan
diterima masyarakat. Berbagai tindak kriminal, seperti pembalakan liar akan
teratasi, sebab tidak ada lagi kaki tangan yang melakukan tindak kriminal itu.
Kalaupun kaki tangan itu masih ada, mereka dipastikan bukan masyarakat lokal,
dan mereka harus berhadapan dengan masyarakat lokal yang telah merasa lebih
berkepentingan menjaga hutan di wilayahnya. Dan akhirnya, keterlibatan semua
pihak dalam mewujudkan berbagai peraturan untuk melindungi kawasan hutan dari
kerusakan dan proses konversi akan lebih menyempurnakan proses pembangunan
kehutanan ini.

Tinggalkan komentar